Sabtu,
26 Juli 2014 saya dan teman saya bernama Mario mengunjungi salah satu panti
jompo di Kota Kupang yaitu Panti Jompo Budi Agung Oepura. Panti Jompo ini terletak di Jalan Rambutan 09
Oepura, persis di belakang Dinsos Kota Kupang. Saya dan teman saya berangkat
dari tempat kerja saya di Walikota pada pukul 18.15 WIB dan lima belas menit
kemudian tiba di sana. Saya sendiri belum pernah mengunjungi panti ini
sementara Mario sudah beberapa kali dan bahkan sering datang mengunjungi para
penghuni panti ini, apalagi katanya ini adalah bagian dari pelayanan yang
sering dilakukan oleh sebuah komunitas Doa, St. Egidio. St, Egidio Sendiri
merupakan komunitas Doa yang punya banyak kegiatan pelayanan dan salah satunya
mengunjungi para lansia di Panti Jompo Budi Agung Oepura ini.
Hari
sudah gelap ketika kami tiba di komplek panti. Saya pun diajak oleh teman saya
untuk berkeliling sambil melihat kondisi di sekitar panti. Dalam komplek yang
lumayan luas itu terdapat beberapa wisma yang diberi nama berdasarkan nama-nama
bunga, seperti teratai, kamboja, mawar, dan lain-lain. Setiap wisma dihuni oleh
maksimal 8 lansia. Setelah berkeliling sebentar, kami pun menuju salah satu
wisma. Dari luar wisma, terlihat beberapa lansia sedang makan malam. Saya pun
bermaksud untuk tidak masuk wisma dulu karena taku acara makan malam mereka
terganggu. Namun Mario sudah lebih dulu terobos masuk, saya pun yang sebelumnya
masih ragu mengikutinya juga dari belakang. Tidak sungkan-sungkan saya pun
menyalami mereka satu persatu mengikuti apa yang dilakukan Mario. Biasa, pemula
biasanya agak malu. Ada kebahagiaan yang saya bisa tangkap dari wajah mereka. Seakan
mereka merasa bahwa mereka disapa dan mendapat perhatian. Komunikasi pun
berlangsung lancar tak jarang kami pun membagikan cerita-cerita lucu yang
membuat mereka tertawa. Senang rasanya ketika melihat mereka bahagia. Saya yang
sebelumnya punya motivasi hanya sekadar jalan-jalan ke panti tiba-tiba berubah
setelah menjumpai mereka. Ada keinginan terbesar untuk kembali ke panti ini
karena rasa cinta dan belaskasihan saya mulai muncul dan inilah yang kemudian
memotivasi saya untuk berada di tengah-tengah mereka.
Kebersamaan
mereka dalam wisma ini sangat terlihat, komunikasi antar mereka tetap terjaga. Di
samping itu, mereka juga mengajariku makna melayani satu sama lain. Lansia yang
usianya lebih muda dari yang lansia yang lain memiliki tanggung jawab yang
lebih besar dalam mengurusi wisma, mulai dari menyapu, mencuci piring, merapikan
tempat tidur serta punya kewajiban mengambil makanan di dapur utama yang tidak
jauh dari wisma. Saya melihat ini semua sebagai sebuah bentuk pelayanan. Tak jarang
mereka juga melayani lansia umurnya lebih tua. Untuk di ketahui usia lansia
diwisma ini berkisar dari 67 tahun-88 Tahun.
Dengan usia yang cukup bervariasi, serta karakter yang pastinya juga
berbeda mereka mampu mempertahankan kebersamaan mereka. Di usia mereka yang
sudah tua, ada diantaranya yang sakit-sakitan dan tentunya membutuhkan
perhatian yang lebih. Biasanya mereka mengalami kesulitan dalam mendengar dan
melihat.
Satu hal yang membuat saya sedih dan juga
terharu ketika salah satu dari mereka mengatakan bahwa kalian (saya dan Mario)
bukan anak kami bukan juga cucu kami, tetapi kalian datang mengunjungi kami
jadi terima kasih banyak semoga Tuhan berkati kalian. Memang tak henti-hentinya
mereka bersyukur atas kedatangan kami. Aku pun begitu, bersyukur menjumpai
mereka. Doa mereka menjadi mimpi saya untuk terus bersyukur dan bersyukur. Masa
tua mereka dihabiskan di panti dalam kebersamaan yang utuh dimana kehadiran
Tuhan ada pada mereka. Walaupun baru
pertama kali menjumpai, saya merasa ada kedekatan dengan mereka. Mereka menyayangiku,
kadang pula mereka menciumku seperti halnya seorang nenek kepada cucunya. Hal ini
mengingatkanku pada nenek saya yang sudah kembali ke rumah Bapa. Kebersamaan kami
pun masih berlanjut sambil menikmati buah pisang yang mereka sajikan buat saya dan
Mario. Bahkan ada yang mengeluarkan kue dari lemari untuk kemudian kami makan. Kebersamaan
kami dipenuhi oleh tawa dan canda. Peneguhan pun kami dapatkan dari mereka,
terlebih khusus dari doa-doa mereka agar kami diberi terang dalam perjalanan
hidup kami. Akhir kebersamaan kami tentunya ditutup dengan doa yang dipimpin
oleh salah satu dari mereka. Isi doanya singkat, bersyukur atas kunjungan saya
dan Mario serta memohon kepada Tuhan agar saya dan Mario diberikan berkat serta
perlindungan dalam ziara hidup kami dan tak lupa pula didoakan agar kami
sungguh-sungguh menyadari bahwa kasih Tuhan begitu besar untuk setiap umat-Nya.
Dan kasih Tuhan itu pun saya rasakan di panti ini. Akhirnya kami berpamitan,
kembali saya salami mereka satu persatu dan berjanji akan kembali mengunjungi
mereka lagi.
Waktu
sudah menunjukan pukul19.45 WITA ketika kami meninggalkan wisma oma-oma di
wisma yang tadi kami kunjungi. Kami masih punya waktu, karena tepat pukul 20.30
WITA saya harus kembali ke Penfui dan Mario ke Walikota. Waktu yang tersisa
kami manfaatkan untuk mengunjugi salah satu wisma lagi, kali ini penghuninya
adalah para ba’i (baca: kakek). Saya dan Mario pun masuk dan menyelami mereka
satu persatu persis seperti apa yang kami lakukan di wisma sebelumnya. Para ba’I
pun sangat antusias menerima saya dan Mario.
Di
dekat pintu masuk ada ba’I yang menarik perhatian saya. Di tangannya ada
beberapa kertas doa yang sudah kusam sementara dilehernya tergantung emapt Rosario
sekaligus. Dihadapanya ada satu ba’I lagi. Sepertinya beliau sedang membagi
pengalaman rohaninya sambil mengacu pada kertas-kertas doa yang ada di
tangannya. Saya pun tanpa ragu mendekatinya, dugaanku betul beliau masih
berbicara tentang Tuhan, kepada saya beliau mengatakan bahwa kasih Tuhan itu
besar, segala beban kita akan ringan jika melangkah bersamanya. Lalu beliau
menunjukan kepadaku sebuah foto dirinya di kaki salib. Dia menjelaskan bahwa
foto tersebut menyimpan banyak kenangan akan perjumpaannya dengan Tuhan. Itulah
sebabnya foto tersebut selalu selalu beliau bawa kemanapun beliau pergi. Saya melihat
dalam dirinya ada semangat pewartaan dan memberikan kesaksian akan Tuhan.
Di
wisma yang kami kunjugi ini juga ada ba’I Benyamin yang punya kretivitas yang
luar biasa. Beliau bisa membuat tas dengan menggunakan benang khusus, bukan
hanya itu beliau juga sering membuat gelang, kalung, tasbi, dan Rosario. Biasanya
hasil karyanya ini dijual dengan harga yang bervariasi mulai dari Rp.5000 – Rp.100.000.
Biasanya yang membeli hasil karyanya adalah pengunjung atau tamu yang dating ke
panti. Ba’I Benyamin adalah satu-satunya muslim yang ada di wisma kedua yang
kami kunjungi ini. Meski berbeda keyakinan dengan penghuni lain kehidupan dan
kebersamaan mereka tetap akur dan juga terjaga. Sebenarnya saya ingin
berlama-lama di panti, tetapi karena sudah malam apalagi rumah saya cukup jauh,
saya dan Mario pun pamit pulang. Kembali saya menyelami mereka satu-persatu dan
meninggalkan panti.
Bagi
saya kunjugan ke panti merupakan kunjugan yang inspiratif. Banyak hal yang saya
dapatkan dari sana, yaitu soal menjaga kebersamaan, kesabaran, komunikasi,
pelayanan, sampai pada kehidupan doa. Saya berharap, saya bisa belajar lebih
dalam lagi dan menhayati nilai-nilai kristiani yang saya dapatkan. Saya pun berdoa
semoga mereka semua tetap sehat dan dilindungi oleh kuasa Tuhan.
@@@@